PENDIDIKAN
INKLUSI
(Pendidikan
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus)
PENDAHULUAN
- BAB I
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di
Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi,
diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial,
kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah
siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan
layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi
keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak
yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan
Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple
Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic,
Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,
Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
15. Autis
16. Korban Penyalahgunaan Narkoba
17. Indigo
2. Tujuan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia
untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan
dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman,
sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada
perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman
dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan
fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya
yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem
pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang
berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari
telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak
– anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.
Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara
kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang
integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak –
haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan
Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah
Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang
disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa
setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di
setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam
prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan
tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para
guru.
3. Manfaat Sekolah Inklusi
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam
berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan
sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus.
Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan
khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya
terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak
berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati,
bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada
mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa
terganggu sedikitpun
4. Rumusan Masalah.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan
salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat
inklusi (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati
dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi
dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan
inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi
menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan
pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem
pendidikan inklusi bagi kelompok difabel?
2. Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan inklusi?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Gagagasan pendidikan inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang
mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat
dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak
penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi
target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih
banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak
anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan
inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung
di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat
anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi,
bahagia dan bertanggung jawab.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok
teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.
Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup
dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang
menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan
merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau
pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan
inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh
berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan
atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan
orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama
dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru
berpusat pada anak.
2.2. Landasan Hukum
2.2.1. Landasan Spiritual
a. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling mengambil
manfaat(membutuhkan)”.
2.2.2. Landasan Yuridis
a. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.
d. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun landasan yuridis
tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang bagaiman penyelenggaraan
pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi.
2.3. Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak
termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah
pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat
1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan
bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta
menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar
Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah
reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB
dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang
berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB
relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau
penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan
oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan
penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini
tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul
dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada
sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak
lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan
khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi
yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan
sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120
anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan
oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat
tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh
sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka
sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu
anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira,
bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman
sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik
mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata
pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang
sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat
menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan
potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001,
secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan
beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan
inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang
pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu
menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan
lain-lain.
II. PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum
sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai
dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
B. Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi
dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait,
terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah
berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa
(Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD
Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
C. Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu
pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler
(Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat
dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak
tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak
ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting
untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal
materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan
dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang
meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak
berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan
individual setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas
heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari
satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak
dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara
fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi
yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya,
yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu
diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa
kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara
bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama
dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini
sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang
harmonis.
* Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada
yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga
hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan
dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi
sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang
berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru
harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan
seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan
yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih
– alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang
inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam
lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru
yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
3.2. Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi,
maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan
pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga
evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat
dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan
menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning).
Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami
(mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care)
terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem
belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning)
yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan
competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi
oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana
belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak
secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para
siswa.
3.3 Hasil Pendidikan Inklusi
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program
inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah,
hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi
dengan anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami
kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat
pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di
sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan
prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia
bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi
dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
Intelligence Quotient (IQ) yang hampir
seratus tahun lalu diperkenalkan oleh William Stern tlah menyita perhatian yan
tidak kecil. Bangunan-bangunan utama kecerdasan ditakar dalam skor-skor
tertentu. Takaran IQ bahkan menjadi momok bagi siswa tertentu ketika ia harus
memilih mau menjadi apa dia kelak. Yang lebih tragis, takaran IQ telah
menghilangkan kesempatan berkembang bagi mereka yang memiliki IQ rendah, tetapi
dengan kecerdasan lain yang dominan.
Intelligence Quotient (IQ), menurut Daniel
Goleman, hanya menyumbang sekitar 5-10 persen bagi kesuksesan hidup. Sisanya
adalah kombinasi beragam factor yang salah satunya adalah kecerdasan Emosi
(Gramedia, 1996). Intelligence Quotient (IQ), menurut Paul
Scoltz, hanya bagian kecil dari pohon kesuksesan dalam semua hal. Scoltz yang
menulis buku Adversity Quotient (Gramedia, 2000),
menyebut kinerja, bakat dan kemauan,karakter, kesehatan, kecerdasan, faktor
genetik, pendidikan, dan keyakinan sebagai kunci-kunci
kesuksesan manusia.
Menurut Howard Gardner, ahli pendidikan dengan
memperkenalkan teori Multiple Intelligence (MI, atau kecerdasan
majemuk), mempertegas bahwa kesuksesan tidak dapat hanya diukur dengan
kecerdasan intelektual. Tujuh jenis kecerdasan itu
adalah linguistic, matematika, spasial, kinestetis, musik, antar pribadi,
dan inter pribadi. Tujuh potensi kecerdasan dengan kadar berbeda-beda
ada pada setiap orang. Ketujuh kecerdasan majemuk itu bukan bagian-bagian jyang
terpisah dari kecerdasan manusia. semuanya terintegrasi dan saling terkait satu
sama lain. Jelasnya setiap orang memiliki tujuh jenis kecerdasan itu.
Masalahnya, pendidikan kita cenderung mengoptimalkan satu atau dua kecerdasan
saja. Oleh Karena itu, tugas paling berat adalah optimalisasi tujuh kecerdasan
itu. Ini artinya, optimalisasi seluruh otak!.
Kesuksesan harus dipandang sebagai pemakaian otak
secara utuh (whole brain), Jika selama ini otak belum dipakai secara utuh,
namun yang patut disyukuri adalah adanya dukungan ilmiah bahwa otak manusia
berperan penting dalam kecerdasan dan kesuksesan. bahkan ahli saraf terkenal
dari Universitas Indonesia, Prof. Sidiarto Kusumoputro, mengembangkan pelatihan
otak yang didasari pada temuan-temuan spektakuler neurosains tersebut.
Pelatihan KISS ME (Kreatifitas, Imajinasi, Sosialisasi, Spiritual, Musik,
dan Emosi),Neurobics, dan Brain Gym adalah pelatihan untuk
optimalisasi otak.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa kekuatan
terbesar manusia bukan terletak pada bagian luar tubuh manusia. kekuatan ada
pada diri manusia. problemnya, manusia kurang begitu mengenal dirinya. Socrates
benar ketika ia menyatakan bahwa masalah mendasar manusia adalah `pengenalan
diri`, “Gnothi Teauton”kata Socrates. ‘kenalilah dirimu!”
Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan
kecerdasn majemuk merupakan kunci-kunci kesuksesan yang betul-betul mengorek
hingga ke dasar-dasarnya kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Namun,
perlu diperhatikan secara jelas bahwa ketiga konsep itu memiliki kelemahan yang
sangat signifikan dalam mengaktualkan potensi dasar otak manusia.
Ukuran IQ memiliki kelemahan dala hal pemberian
peluang bagi nuansa-nuansa emosional, seperti empati, motivasi diri,
pengendalian diri, dan kerja sama social. Sementara itu, kecerdasan majemuk
(MI) lebih menonjolkan aspek kognitif, sekalipun musik, olah raga, dan hubungan
antar pribadi dipandang sebagai kecerdasan jenis tersendiri. EQ, sebagaimana juga
ditemui pada konsep IQ dan MI, sama sekali menepiskan peranan aspek spiritual
yang mendorong kesuksesan. Ketulusan, integritas, tanpa pamrih, `ngalap
barokah`, rendah hati, dan orientasi kebajikan social adalah beberapa hal
penting dari kehidupan spiritual yang memberi kepuasan total bila seseorang
sukses. Aspek-aspek spiritual itu tidak hanya membuat seseorang sukses, tetapi
juga BAHAGIA. salam `sisifus bahagia`